Istilah e-government sering kali kita dengar pada diskusi publik atau di media massa terlebih lagi di forum-forum akademik. Agaknya tidak ada yang belum pernah mendengar istilah itu. Meski demikian, familiaritas masyarakat terhadap istilah itu belum tentu selaras dengan pemahaman mereka terhadap konsep e-government. Hal ini wajar adanya, bukan hanya masyarakat awam, di kalangan akademisi pun ada ketidak seragaman pengertian dan pemahaman terkait konsep e-government.
Beragam pendekatan dari disiplin ilmu yang berbeda membuat studi mengenai e-government menjadi semakin kaya dan dinamis. Masing-masing disiplin ilmu memiliki titik tekan mereka sendiri serta fokus pada aspek-aspek tertentu. Bahkan tidak jarang beragam disiplin ilmu tersebut bertautan satu sama lain sehingga menghasilkan konsep-konsep turunan dari studi e-government secara umum. Konsep-konsep tersebut antara lain misalnya, open government, penggunaan social media, Web 2.0, smart cities, smart communities, digital divide, digital gap, digital literacy, cyber security, privacy, dan berbagai konsep lainnya yang terkait. Meski di satu sisi pertautan berbagai disiplin ilmu ini menambah khazanah dan kekayaan studi e-government, di sisi yang lain ia juga membawa permasalahan terutama tantangan besar bagi para akademisi e-government untuk mendefinisikan konsep serta topik utama dari e-government.
Jika dilihat secara berurutan, sepertinya terdapat suatu pola yang bersifat evolusioner. Artinya definisi dan pemahaman akademisi terkait fenomena penggunaan ICT dalam pemerintahan ini dimulai dengan fokusnya pada manajemen informasi, kemudian seiring dengan perkembangan teknologi internet maka istilah baru bermunculan seperti “e-commerce”, “e-Business” dan akhirnya “e-government”. Meskipun berguna, namun cara pandang evolusioner ini dianggap belum memiliki bukti yang cukup kuat untuk dipercaya, karena langkah-langkah yang berurutan sebagaimana yang logis terjadi dalam proses evolusi ternyata tidak selamanya terjadi. Tahapan-tahapan dalam asumsi jenjang evolusi (dari manajemen informasi, e-government, sampai pada e-governance) masih tumpang tindih satu sama lain dan tidak menujukan pola evolusi sama sekali.
Lantas bagaimana kita bisa mempelajari e-government apabila kompleksitas yang terkandung dalam konsep tersebut dikatakan mustahil untuk sepenuhnya diketahui? Untuk membantu kebuntuan ini, Gil-Garcia menyebutkan bahwa kita bisa memahami esensi dari e-government melalui tiga pendekatan. Pertama, kita bisa menggunakan pendekatan evolusioner, yang kedua kita bisa mendekatinya dengan merujuk pada karakteristik utama yang harus ada dalam sesuatu yang disebut e-government. yang terakhir adalah dengan melihat aplikasi atau penggunaan e-government pada stakeholder yang berbeda (Gil-Garcia, 2012)
Pendekatan dalam Memahami Konsep E-Government
1. Pendekatan Evolusi E-Government (The Stage of E-Government)
Pendekatan pertama dalam memahami konsep e-government adalah melalui suatu instrumen yang menggambarkan step-by-step atau tahapan-tahapan yang bersifat evolusioner. Artinya instrumen ini akan memberitahukan sudah pada tahapan mana penggunaan ICT dalam proses pemerintahan. Pendekatan ini merupakan pendekatan yang cukup populer dalam khazanah literatur studi e-government di mana banyak tulisan yang kemudian mencoba untuk menentukan sudah pada tahapan mana penggunaan ICT oleh pemerintah telah berjalan. Instrument ini juga tidak jarang dipergunakan sebagai basis evaluasi dari implementasi e-government. Asumsi dari pendekatan evolusioner ini adalah bahwa tahapan e-government melewati garis linier yang progresif dari tahap awal yang paling sederhana menuju tahap akhir yang paling kompleks dan proses evolusi dari program e-government akan melewati tahapan tersebut satu per satu.
Instrumen untuk mendeskripsikan evolusi e-government biasa disebut “stages”, “tahapan”, “tingkatan” dan istilah-istilah serupa. Serangkaian “stages” ini dikumpulkan dalam suatu kerangka model yang disusun oleh para akademisi. Banyak sekali model evolusi e-government yang bisa kita temukan dalam literatur, beberapa yang populer dan banyak digunakan misalnya model evolusi e-government yang disusun oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations) yang berisi empat tahap: 1) emerging; 2) enhanced; 3) transactional; dan 4) connected, dan model Layne & Lee yang memuat: 1) catalogue; 2) transaction; 3) vertical integration dan 4) horizontal integration. (Layne & Lee, 2001; United Nations, 2008a).
Meski demikian, pendekatan evolusioner ini tidak lantas lepas dari kritik. Kritikan pertama diarahkan pada asumsi progres linier dari tiap tahapan, asumsi yang menyatakan bahwa suatu program elektronik government akan berevolusi sesuai dengan tahapan-tahapan yang telah dirumuskan ternyata tidak selalu terjadi. Bahkan tidak ada bukti kuat bahwa ke” ajeg”an tahapan itu benar-benar dilewati secara tertib dan berurutan. Yang ada justru studi yang menunjukkan bahwa pola implementasi e-government yang dilakukan pemerintah bisa mengambil jalur yang berbeda dan terlihat acak. Satu program e-government tidak perlu dimulai langsung pada tahap awal (emerging) misalnya dan langsung dimulai pada tahapan dua (enhanced) atau tiga (transactional). Begitu pula dengan pola progres program e-government. Tidak selalu program e-government itu harus melalui tahapan di atasnya terlebih dahulu. Ada kasus-kasus yang menunjukkan bahwa tahapan tersebut dilewati dan program itu “lompat” ke tahapan yang jauh lebih tinggi. Misalnya ada program baru yang mungkin masih termasuk dalam kategori “emerging”, setelah sekian lama ia berkembang namun tidak lagi “naik” ke tahapan “enhanced” (satu tahapan di atasnya), namun langsung masuk pada kategori “transactional” (dua tahapan di atasnya).
Kritik ke dua adalah tentang titik fokus pendekatan evolusioner ini terhadap website dan penggunaan internet. Menurut para pengkritik, e-government merupakan suatu konsep luas dan tidak bisa hanya dibatasi pada penggunaan internet dan website saja. Perkembangan serta penerapan teknologi informasi diasumsikan sebagai faktor utama dari progres e-government. Kritik diarahkan pada asumsi ini yang mengabaikan faktor organisasi, institusi dan administrasi. Pada intinya terdapat pengabaian terhadap faktor-faktor sosial dari progres e-government sesuai dengan pendekatan evolusioner.
Meski demikian, terlepas dari kritikan yang diterima, model evolusioner ini masih menjadi instrument yang sangat berguna untuk membantu kita mendeteksi dan mendeskripsikan “tahapan” atau “tingkat kedewasaan” dari program e-government. Terutama ketika kita bisa menggabungkan pendekatan ini dengan pendekatan lain yang memiliki fokus yang bisa menutupi kelemahan dari pendekatan evolusioner
2. Pendekatan Definisional (The Elements of E-Government)
Pendekatan kedua adalah pendekatan definisional. Fokusnya adalah menemukan elemen esensial dari konsep egovernment dan mendefinisikan konsep tersebut sesuai dengan elemen yang diidentifikasi. Melalui pendekatan ini, maka ada beragam definisi e-government yang memiliki makna yang beragam pula sesuai dengan keragaman elemen yang dipilih oleh para ahli yang merumuskan definisikannya. Menurut Gil Garcia & Luna-Reyes (2006) dalam Gil-Garcia (2012) Sebagian besar dari definisi e-government yang ada saat ini mengandung setidaknya empat elemen atau karakteristik utama: 1) penggunaan ICT (jaringan komputer, internet, telepon, dan mesin fax); 2) dibuat untuk mendukung kerja pemerintahan (menyediakan dan pengelolaan informasi, perbaikan pelayanan, efisiensi administrasi dan lain-lain); 3) memperbaiki relasi pemerintah dan publik (melalui pembuatan kanal-kanal komunikasi baru berbasis ICT dan meningkatkan partisipasi publik dalam jalannya pemerintahan); 4) adanya strategi untuk menciptakan nilai tambah bagi stakeholder yang terlibat dalam program e-government (masyarakat, privat/mitra bisnis, staf pegawai dan lainnya).
Terlepas dari empat karakteristik utama yang terdapat pada sebagian besar definisi e-government, para akademisi masih menekankan elemen penting yang berbeda pada tiap definisi yang mereka gunakan. Grönlund & Horan misalnya menekankan pada pelayanan publik, perubahan organisasi dan peran pemerintah (Grönlund & Horan, 2005). Lain halnya dengan Zweers & Planqué (2001) yang fokus pada penyediaan informasi, pelayanan dan produk kebijakan berbasis ICT yang bisa diperoleh kapan dan di mana saja melalui berbagai agen pemerintah yang menciptakan nilai tambah bagi pihak yang telibat dalam proses tersebut (related to the provision of information, services, or products through electronic means that can be obtained at any time and place through different government agencies, offering added value for all the participants in the transaction) (Zweers & Planqué, 2001). Akademisi lain mendefinisikan e-government secara sederhana yang hanya melihat aspek penyediaan layanan pemerintah serta informasi publik melalui penggunaan ICT selama 24 jam / (Holden, Norris, & Fletcher, 2003). Definisi lain menjangkau penekanan pada “kebebasan pergerakan informasi yang mengatasi hambatan fisik” sampai pada “penggunaan teknologi untuk meningkatkan akses kepada dan terhadap layanan pemerintah demi kepentingan publik, bisnis dan pegawai pemerintah”.
Gil-Garcia dan Luna-Reyes (2003, 2006) mendefinisikan e-government tidak sekedar penerapan ICT dalam proses pemerintahan, namun juga tentang penciptaan kondisi untuk keberhasilan proyek e-government itu sendiri. Pada bagian yang lain, definisi dari beberapa organisasi internasional lebih menekankan pada tujuan e-government untuk menciptakan pemerintahan yang baik. Seperti definisi yang dibuat oleh the Organization for Economic Cooperation and Development (OECD).
Pendekatan definisional ini tentu sangat berguna ketika kita ingin mengetahui elemen dasar atau karakteristik utama yang ada pada konsep e-government. Namun, tantangan dari pendekatan ini adalah definisi yang beragam yang menekankan pada elemen yang beragam pula sehingga menimbulkan kesulitan dalam men sortir dan menyeleksi elemen mana yang merupakan elemen utama sebagai pembeda dari konsep lain.
Beragamnya elemen yang muncul dari penekanan fokus yang berbeda dari definisi e-government ini sebenarnya bisa dilihat dari dua sisi yang berbeda. Jika sebelumnya kita melihat tantangan yang muncul akibat kebingungan untuk menentukan elemen utama, di sisi lain kita bisa melihat bahwa beragamnya elemen ini merupakan potensi untuk menambah wawasan dalam kajian e-government yang justru akan menambah pemahaman kita terkait fenomena ini.
3. Pendekatan Berbasis Stakeholder (The Relationships Between Government and Other Entities)
Pendekatan terakhir, adalah pendekatan berbasis stakeholder yang menekankan pada kategorisasi terhadap tipe relasi antara pemerintah dan entitas lainnya. Pendekatan ini fokus pada penggunaan internet sebagai instrument untuk meningkatkan dan mendukung relasi pemerintah dengan stakeholder lain. Hal ini termanifestasikan dengan konsep yang kita kenal sebagai: Government to Citizens (G2C) relasi antara pemerintah dan masyarakat, Government to Business (G2B) relasi antara pemerintah dan kalangan bisnis, dan Government to Government (G2G) relasi antar pemerintah.
1) Government to Citizens (G2C)
Kategori pertama, Government to Citizens (G2C), merupakan implementasi e-government untuk memperbaiki kualitas pelayanan publik yang disediakan oleh pemerintah. Dengan penggunaan internet dalam penyediaan layanan publik maka pemerintah diyakini mampu untuk menyediakan layanan dengan lebih baik contoh dari relasi G2C ini misalnya: penggunaan website resmi pemerintah sebagai sarana diseminasi informasi publik, penyediaan layanan berbasis online dan penyediaan kanal interaksi antara masyarakat dan pemerintah melalui jaringan internet.
2) Government to Business (G2B)
Kedua, Government to Business (G2B). Penggunaan ICT dalam menunjang kinerja organisasi memang tidak didominasi oleh pemerintah saja namun justru sebaliknya, berbagai inovasi dan terobosan yang bertujuan untuk memaksimalkan keuntungan dengan pengelolaan organisasi yang efektif dan efisien banyak datang dari sektor bisnis. Kajian dalam Administrasi Publik bahkan mendorong pemerintah untuk melakukan inovasi dan tata kelola organisasi sebagaimana yang dilakukan oleh sektor bisnis, hal ini bisa terlihat pada paradigma New Public Management (NPM) misalnya. Untuk konteks relasi antara pemerintah dan kalangan bisnis sendiri, e-government meningkatkan koordinasi dan kerjasama antar kedua pihak terutama pada pelayanan terhadap sektor bisnis atau transaksi antar keduanya, misalnya pada proses pembelian barang dan jasa oleh pemerintah dari sektor bisnis.
3) Government to Government (G2G)
Selanjutnya adalah Government to Government (G2G). E-government diyakini mampu mendukung koordinasi antar pemerintah yang membutuhkan kejelasan terkait hal-hal yang teknis dan mendetail, misalnya tugas pokok, wewenang, aturan dasar, yuridiksi dan lain sebagainya. Koordinasi antar pemerintah (baik antar negara atau antar tingkatan pemerintah dalam suatu negara) merupakan mekanisme yang kompleks karena melibatkan tidak hanya personel secara indvidu namun juga organisasi misalnya kementerian, dinas, sampai pada kantor desa. Relasi G2G bisa terlihat misalnya melalui jalur koordinasi berbasis internet antara organisasi pusat dan daerah dalam memberikan pelayanan.
Ketiga kategori relasi pemerintah di atas merupakan kategori yang populer dan sudah banyak diketahui, namun seiring dengan perkembangan sosial-politik, ketiga kategori itu saja tidak dianggap mencukupi dalam merepresentasikan hubungan antara pemerintah dan stakeholder lainnya. Oleh sebab itu, Hiller dan Belanger (2001) menambahkan tiga kategori lagi dengan harapan mampu untuk mencerminkan relasi pemerintah dan stakeholder lain yang terabaikan pada kategori sebelumnya. Tiga kategori tambahan itu adalah: 1) Government to Individuals as Part of the Political Process (G2IP); 2) Government to Companies in the Market (G2BMKT); dan 3) Government to Employees (G2E).
#1 Government to Individuals as Part of the Political Process (G2IP)
Government to Individuals as Part of the Political Process (G2IP) merupakan kategori yang mendeskripsikan perkembangan proses demokrasi yang sudah dan sedang menuju apa yang disebut sebagai “electronic democracy”. Pada kategori ini, yang dilihat adalah partisipasi masyarakat dalam proses politik dan pembuatan kebijakan publik misalnya pada mekanisme voting yang berbasis elektronik atau mekanisme penyerapan aspirasi masyarakat yang disampaikan melalui kanal-kanal elektronik, Hiller dan Belanger percaya bahwa kategori ini harus berdiri sendiri dan terpisah dengan kategori G2C yang sama-sama mencerminkan relasi antara pemerintah dan masyarakat, namun pada G2C yang menjadi fokus adalah pelayanan publik, baik bagi pemerintah sebagai penyedia dan bagi masyarakat sebagai penerima layanan publik. Sedangkan pada kategori G2IP, relasi yang ditekankan adalah relasi politik.
#2 Government to Companies in the Market (G2BMKT)
Government to Companies in the Market (G2BMKT). Hiller dan Belanger menyadari kesamaan kategori ini dengan kategori G2B, namun mereka menambahkan bahwa meskipun sektor bisnis merupakan penerima layanan publik yang disediakan oleh pemerintah -sama seperti individu-, namun relasi paling penting dari pemerintah dan sektor bisnis adalah tentang transaksi pembelian barang dan jasa pemerintah. Kategori ini lebih fokus pada aspek ini dan mereka meyakini bahwa penerapan e-government bisa mengurangi biaya yang tidak perlu dari transaksi konvensional dan yang paling penting adalah meningkatkan transparansi belanja pemerintah.
#3 Government to Employees (G2E)
Government to Employees (G2E). Mungkin kategori ini adalah kategori terpenting yang terlewat oleh tiga kategori sebelumnya. Relasi antara pemerintah dan pegawainya merupakan hal yang sangat berbeda dengan relasi pemerintah dan masyarakat atau antar pemerintah sendiri. Penerapan egovernment dalam kategori ini meliputi penggunaan ICT untuk meningkatkan efisiensi manajemen organisasi pemerintah, meningkatkan koordinasi komunikasi antar pegawai sampai pada manajemen sumberdaya manusia misalnya sistem aplikasi pelayanan kepegawaian di Indonesia.
Sebagaimana disampaikan sebelumnya, pendekatan berbasis stakeholder ini menekankan pada relasi pemerintah dengan pihak-pihak lain. Penekanan ini merupakan pembeda utama antara pendekatan berbasis stakeholder dan pendekatan lainnya. Namun di sisi lain, penekanan terhadap relasi ini juga menjadi poin yang dikritik oleh sebagian akademisi yang menganggap bahwa pendekatan berbasis stakeholder terlalu fokus pada relasi eksternal dari pemerintah saja namun di saat yang sama mengabaikan pertanyaan penting lain terkait definisi e-government, misalnya terkait dengan apa elemen utama e-government? sebagaimana yang menjadi fokus dari pendekatan definisional. Terlepas dari kritikan yang menjadi perdebatan akademisi, pendekatan berbasis stakeholder ini sangat berguna bagi penstudi e-government terutama bagi pemula untuk mengidentifikasi implementasi e-government antara pemerintah dan aktor-aktor lain.
0 Comments
Komentar akan dimoderasi terlebih dahulu untuk sementara karena ada beberapa komentar yg mengandung spam porno. Jadi komentar tidak akan langsung muncul sebelum disetujui.
Dilarang berkomentar yang mengandung porno, judi, spam, rasis, promosi iklan dan sara.
Form komentar akan di nonaktifkan setelah komentar mencapai 30 komentar lebih.